22 January 2011

Tingkat Kepuasan Konsumen Ditinjau dari Kualitas Makanan, Harga Makanan, Karakteristik Pelayanan dan Karakteristik Fisik di Kantin Kopma dan Pujasera No Name

Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia, oleh karena itu penyelenggaraan makanan merupakan suatu keharusan baik di lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Keberhasilan suatu penyelenggaraan makanan ditentukan oleh kualitas makanan, harga makanan, karakteristik pelayanan dan karakteristik fisik yang memuaskan bagi konsumennya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat kepuasan konsumen ditinjau dari kualitas makanan, harga makanan, karakteristik pelayanan dan karakteristik fisik di Kantin Kopma dan Pujasera No Name.
Penelitian ini dilaksanakan di Kantin Kopma dan Pujasera No Name pada bulan Mei 2008. Jenis penelitian bersifat observasional dengan desain penelitian cross sectional study. Sasaran adalah 143 konsumen yang terbagi menjadi dua tempat dengan persentase perbandingan jumlah pengunjung yang datang di kedua tempat ini yaitu Kantin Kopma 93 orang (65%) dan Pujasera 50 orang (35%). Data dikumpulkan dengan cara wawancara dengan pemilik rumah makan, pengisian kuesioner oleh konsumen dan pengamatan langsung di kedua tempat makan. Data yang diperoleh ditabulasikan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif serta dibandingkan dengan kepustakaan yang ada.
 

Sebagian besar konsumen menyatakan kualitas makanan di Pujasera (88%) lebih baik dibandingkan Kantin Kopma (84,9%). Penilaian konsumen terhadap harga makanan sebagian besar menyatakan lebih sesuai di Pujasera (88%) dibandingkan di Kantin Kopma (66,7%). Penilaian konsumen terhadap karakteristik pelayanan petugas sebagian besar menyatakan lebih baik di Pujasera (78%) dibandingkan di Kantin Kopma (54,8%). Penilaian konsumen terhadap karakteristik fisik sebagian besar menyatakan lebih tidak sesuai di Pujasera (70%) dibandingkan di Kantin Kopma (62,3%). Jumlah konsumen yang merasa puas di Pujasera lebih banyak (84%) dibandingkan di Kantin Kopma (67,7%).
 

Tingkat kepuasan konsumen dipengaruhi oleh kualitas makanan, harga makanan, karakteristik pelayanan petugas dan karakteristik fisik. Kantin Kopma perlu mempertimbangkan dalam menentukan harga per porsi makanan yang disajikan. Perlunya penambahan petugas pelayanan di Kantin Kopma mengingat jumlah pengunjung yang datang lebih banyak, dan untuk meningkatkan penampilan petugas pelayanan makanan sebaiknya perlu pengadaan seragam karyawan khususnya di Pujasera. Sebaiknya Kantin Kopma dan Pujasera mengupayakan mendapatkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran dari Dinas Kesehatan untuk menjamin mutu makanan.

Kata Kunci: Kepuasan Konsumen, Kualitas Makanan, Harga Makanan, Karakteristik Pelayanan dan Karakteritik Fisik.

18 January 2011

To Clone or not to Clone: The Ethical Question

Defining Human Cloning
When speaking of human cloning, what is meant? Different groups and organizations define it differently. To use a specific definition, the American Medical Association (AMA) defined cloning as “the production of genetically identical organisms via somatic cell nuclear transfer. ‘Somatic cell nuclear transfer’ refers to the process which the nucleus of a somatic cell of an existing organism is transferred into an oocyte from which the nucleus has been removed” (Council on Ethical and Judicial Affairs 1). In other words, cloning is the method of produce a baby that has the same genes as its parent. You take an egg and remove its nucleus, which contains the DNA/genes. Then you take the DNA from an adult cell and insert it into the egg, either by fusing the adult cell with the enucleated egg, or by a sophisticated nuclear transfer. You then stimulate the reconstructed egg electrically or chemically and try to make it start to divide and become an embryo. You then use the same process to implant the egg into a surrogate mother that you would use with artificial insemination.

However, many groups have used a broader definition of cloning. They include the production of tissues and organs through growing cells or tissues in cultures along with the actual producing of embryos to be born. This is done with the use of stem cells. When an egg is fertilized and begins to divide, the cells are all alike. As the cells divide, certain cells differentiate and become the stem cells that produce certain tissue and then organs. Research in this very active. There is still much for scientists to learn about cell differentiation and how it works. To a clone an organ, a stem cell must be produced and then used to a clone that specific organ. For the sake of this paper, both definitions will be used in order to cover all opinions.

One must understand that cloning does not produce an exact copy of the person being cloned. What cloning does, is that it copies the DNA/genes of the person and creates a duplicate genetically. The person will not be a Xerox copy. He or she will grow up in a different environment than the clone, with different experiences and different opportunities. Genetics does not wholly define a person and the personality.

How It All Started
In February 1997, when embryologist Ian Wilmut and his colleagues at Roslin Institute in Scotland were able to clone a lamb, named Dolly, the world was introduced to a new possibility and will never be the same again (Nash). Before this, cloning was thought to be impossible, but now there is living proof that the technology and knowledge to clone animals exist. Questions began to arise within governments and scientific organizations and they began to respond. Are humans next? Is it possible to use this procedure to clone humans also? Would anyone actually try? What can we learn if we clone humans? How will this affect the world? These are only a few of the questions that have surfaced and need answered. A whole new concept in ethics was created when the birth of Dolly was announced.

There are a great number of possible medical benefits and disadvantages to cloning and its technology. They include the following:


Potential Medical Benefits
  1. The possibility that through cloning technology we will learn to renew activity of damaged cells by growing new cells and replacing them.
  2. The capability to create humans with identical genetic makeup to act as organ donors for each other, i.e., kidney and bone marrow transplants.
  3. The benefit of studying cell differentiation at the same time that cloning is studied and developed.
  4. Sterile couples will be able to have offspring will have either the mother’s or father’s genetic pattern.
Potential Harms and Disadvantages
  1. The possibility of compromising individualities
  2. Loss of genetic variation.
  3. A “black market” of fetuses may arise from desirable donors that will want to be able to clone themselves, i.e., movie stars, athletes, and others.
  4. Technology is not well developed. It has a low fertility rate. In cloning Dolly, 277 eggs were used, 30 started to divide, nine induced pregnancy, and only one survived to term (Nash). 
  5. Clones may be treated as second-class citizens.
  6. Unknown psychosocial harms with impacts on the family and society.


           Dikutip dari http://www.thefarnsworths.com/science

15 January 2011

Logo Gizi Malang 2011

Logo ini berformat PNG (Portable Network Graphics), sehingga apabila di letakkan pada cover berwarna selain putih, maka yang tampak hanya logonya saja alias tanpa background putih seperti logo yang lama, selain itu tampilan menjadi lebih halus,  coba aja ok.

14 January 2011

Pengaruh Penggunaan Jenis Minyak Goreng Terhadap Kadar Proksimat dan Mutu Organoleptik Abon Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis)

Prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) di Kecamatan XXX sebesar 10,6%. Untuk itu perlu dilakukan penanganan dengan pembuatan produk. Banyaknya minyak yang beredar di pasaran membuat kita semakin dilema memilih minyak manakah yang bermutu bagus tetapi harganya terjangkau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggorengan dengan menggunakan minyak merk berbeda-beda terhadap kadar proksimat yang meliputi kadar air, lemak, abu, protein dan karbohidrat serta mutu organoleptik yang meliputi warna, tekstur dan flavour abon ian tongkol (Euthynnus affinis).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni, yang dimulai dengan pembuatan produk pada tanggal 31 Mei 2008. Produk abon yang telah jadi dilakukan uji mutu organoleptik oleh panelis sebanyak 20 orang mahasiswa pada 5 Mei 2008 dan diuji secara kimia kadar proksimatnya yang meliputi kadar air, lemak, abu, protein dan karbohidrat di Laboratorium Kimia MMM pada 8 Mei 2008. Data mutu organoleptik yang telah diperoleh diolah menggunakan uji Kruskall Wallis dan untuk kadar proksimat menggunakan uji statistic One Way Anova.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggorengan menggunakan minyak merk berbeda memberikan pengarh yang nyata terhadap kadar proksimat, tetapi tidak demikian pada mutu organoleptik. Kadar air tertinggi yaitu pada abon yang digoreng menggunakan minyak jelantah sebesar 2,62%. Demikian halnya pada kadar lemak sebesar 33,96%. Kadar abu tertinggi pada abon yang digoreng menggunakan minyak merk ddd sebesar 0,76%. Demikian halnya pada kadar protein dan karbohidrat tertinggi pada abon yang digoreng dengan minyak merk ddd, berturut-turut sebesar 3,88% dan 0,14%.

Berdasarkan uji Kruskall Wallis didapatkan hasil bahwa penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap mutu oranoleptik (warna, tekstur dan flavour). Untuk warna abon, panelis lebih menyukai abon yang digoreng dengan minyak merk ddd, begitu pula dengan teksturnya. Pada flavour abon, yang paling disukai oleh panelis adalah abon yang digoreng dengan menggunakan dengan menggunakan minyak jelantah, hal ini dikarenakan abon lebih gurih dan nikmat. Berdasarkan nilai Nh tertinggi adalah perlakuan abon yang digoreng dengan minyak ddd sebesar 0,696, sehingga perlakuan tersebut merupakan perlakuan terbaik.

Disarankan untuk melakukan uji lanjutan sehingga dapat diketahui daya simpan produk abon serta abon manakah yang daya simpannya paling lama diantara kelima produk abon tersebut.

08 January 2011

Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Pada Ekstraksi Ikan Lele (Clarias Batrachus) Terhadap Kadar Albumin, Rendemen, dan Mutu Organoleptik Filtrat Ikan Lele.

Salah satu masalah gizi di rumah sakit adalah Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan masalah yang sering dihadapi pada pasien dengan kondisi medis akut atau kronik. Pada saat masuk rumah sakit sekitar 20 % pasien sudah menderita. Kadar albumin darah yang rendah menjadi predictor penting berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas.
Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan, diketahui bahwa kadar albumin ikan lele cukup tinggi, yaitu 0,53 g/dl mengingat lele merupakan salah satu bahan makanan dengan sumber protein yang cukup tinggi sehingga setelah di ekstrak menghasilkan filtrat yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi pasien hipoalbuminemia yang semakin bertambah penderitanya dan untuk mengetahui besarnya kandungan albumin ikan lele dapat diperoleh dari hasil laboratorium.
Penelitian ini bertujuan untuk menambah atau memperkaya ilmu pengetahuan dan pemanfaatan ikan lele yang selama ini kurang maksimal, serta memberikan alternatif penyembuhan bagi penderita hipoalbuminemia.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh suhu dan lama pemanasan dalam ekstraksi terhadap kadar albumin, rendemen dan mutu organoleptik pada filtrat ikan lele ( Clarias Batrachus ). Ekstraksi pengukusan ikan lele dilakukan di Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan, sedangkan analisa kadar albumin dilakukan di Laboratorium Kimia pada bulan Februari 2009. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap dengan 6 taraf perlakuan dan 3 kali replikasi.
Kadar albumin filtrat ikan lele ( Clarias Batrachus ). berkisar antara 1,214 – 1,327 g/dl dan hasil rerata rendemen pada filtrat ikan lele berkisar antara 0,19 – 0,39%. Hasil Organoleptrik menunjukkan bahwa nilai tertinggi pada uji rangking dalam hal ini warna produk terdapat pada perlakuan pertama (suhu 500C selama 30 menit), menunjukkan bahwa nilai uji rangking tertinggi dalam hal ini flavour terdapat pada perlakuan suhu 700C selama 30 menit. Walaupun pada perlakuan tersebut menduduki urutan pertama tetapi aroma dan rasa keenam produk tersebut tidak jauh beda bila dibandingkan dengan pembanding yang telah diberi perlakuan dengan penambahan rempah-rempah dan madu pada hasil ekstraksi.

03 January 2011

Perbedaan Tingkat Pengetahuan dan Penggunaan Garam Beryodium pada Masyarakat Pantai dan Pegunungan

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang memerlukan penanganan yang intensif. Berdasarkan palpasi di Kecamatan XXX tahun 2001 diperoleh data sebanyak 11% anak SD mengalami pembesaran kelenjar gondok, sedangkan di Kecamatan YYY diperoleh hasil sebesar 29,9% pada tahun 2005. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui tingkat pengetahuan dan penggunaan garam beryodium pada masyarakat pantai dan pegunungan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang dilaksanakan pada Bulan Mei–Juli 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan titrasi yodometri pada garam yang digunakan masyarakat pantai dan pegunungan. Perbedaan tingkat pengetahuan (p≤) antara masyarakat pantai dan pegunungan meliputi pengetahuan tentang GAKY, tingkat pengetahuan masyarakat pegunungan lebih tinggi daripada masyarakat pantai. Pengetahuan tentang sifat yodium pada masyarakat pantai lebih tinggi daripada masyarakat pegunungan. Sedangkan pengetahuan yang tidak terjadi perbedaan (p>) meliputi pengetahuan tentang yodium yaitu cukup, pengetahuan tentang penyebab kretin, zat goitrogenik, dan bahan makanan sumber zat goitrogenik yaitu rendah. Cara penggunaan garam sebagian besar masyarakat pantai pada saat masakan dingin sedangkan masyarakat pegunungan menggunakan garam pada saat memasak.
Tidak ada perbedaan antara kadar yodium pada garam yang digunakan pada masyarakat pantai dan pegunungan yaitu antara 30-80 ppm. Saran pada penelitian ini adalah untuk Pemerintah maupun instansi terkait (Dinas Kesehatan setempat) diharapkan diadakan penyuluhan lebih lanjut kepada masyarakat khususnya masalah zat goitrogenik dan bahan makanan sumber goitrogenik terkait dengan sumber daya alam yang tersedia dan akibatnya apabila sering dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama oleh masyarakat.

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan, Penggunaan Garam Beryodium, Masyarakat Pantai dan Pegunungan

02 January 2011

Analisa Tingkat Konsumsi Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Dan Status Kebugaran Jasmani Periode Latihan Pada Atlet Basket

Kebutuhan gizi bagi para atlet mempunyai kekhususan karena tergantung cabang olahraga yang dilakukan. Oleh karena itu untuk mendapatkan atlet yang berprestasi, faktor gizi sangat perlu diperhatikan sejak saat pembinaan di tempat pelatihan .Olahraga basket adalah salah satu cabang olahraga yang aktivitasnya cukup tinggi serta menuntut banyak ketahanan fisik, kecepatan, dan pengeluaran energi yang terus menerus. Untuk mendukung kegiatan tersebut, sangat diperlukan kondisi kesegaran jasmani yang cukup baik. Adapun kegiatan fisik Altet Basket tergolong sedang, energi yang harus dipenuhi dari makanan harus mencapai 4500-5000 kalori. Oleh karena itu di dalam asrama Atlet terdapat penyelenggaraan makanan dengan sistem prasmanan, penyediaan makan 3x sehari, buah 2 kali dalam seminggu. Pemilihan bahan makanan yang disajikan kurang bervariasi dan porsi makanan yang dikonsumsi oleh responden masih kurang dari kebutuhan atlet basket.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat konsumsi energi dan zat gizi (protein, lemak, karbohidrat) dan status kebugaran jasmani responden. dan secara khusus untuk mengetahui lama dan frekuensi latihan kebugaran jasmani responden dalam 1 minggu, mengetahui tingkat konsumsi energi dan zat gizi (protein, lemak, karbohidrat) responden, mengetahui status kebugaran jasmani responden.
Jenis penelitian ini adalah non experimental yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 Sampel yang diambil adalah semua atlet yang tinggal diasrama. Data diperoleh dengan recall untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan zat gizi (protein, lemak, karbohidrat), antropometri untuk mengetahui kebutuhan energi tiap individu, dan tes kebugaran untuk mengetahui kebugaran jasmani responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden 19 tahun.. Tingkat konsumsi energi 36% kategori defisit sedang, tingkat konsumsi karbohidrat 72% kategori defisit berat, tingkat konsumsi protein 36% kategori normal, tingkat konsumsi lemak 43% ketegori diatas kebutuhan. Hasil tes kebugaran untuk mengetahui VO2 max adalah sebanyak 36% kategori good, hasil tes lemak tubuh 93% kategori sangat bagus, dari tes kekuatan otot (push strength) 50% kategori baik, (pull strength) 57% kategori cukup, pengukuran daya tahan otot (sit-up) 43% kategori excellent dan bent knee sit-up 100% kategori kurang, hasil tes kelentukan flexi 43% kategori baik, dan back extensi 100% kategori baik.
Pada penyelenggaraan makanan di Asrama Atlet Basket perlu adanya bantuan ahli gizi untuk penyuluhan maupun konsultasi secara rutin untuk meningkatkan pengetahuan responden dan penyelenggara makanan tentang pentingnya gizi seimbang untuk atlet basket, sehingga kebutuhan gizinya dapat terpenuhi.
 
Kata Kunci : Tingkat Konsumsi, Status Kebugaran Jasmani, Atlet Bola Basket

DM SOFTWARE ver 1.0


Photobucket



Mudah dalam pengoperasian, harga $188 , Jika berminat silahkan pesan dan kirim email ke kami. HP : 085234257676,
atau ke
email : krisaroni@gmail.com

Photobucket
KESEHATAN BUKAN BERARTI SEGALANYA, TAPI TANPA KESEHATAN SEGALANYA MENJADI TIDAK BERARTI